Pembagian Harta Warisan dalam Islam (Mawaris)

Pembagian Harta Warisan dalam Islam (Mawaris)


A. Yang Tidak Berhak Menerima Waris

Dalam ilmu Faraidh, harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup. Semua ahli waris tersebut telah dijelaskan dalam Al Quran. Ahli waris disini berkaitan erat dengan garis keturunan seseorang, baik itu waris dari keturunan ibu yang meninggal. Di sini tampak bahwa agama islam sangat adil dalam mengatur kehidupan berkeluarga dan telah menciptakan suatu sistem keluarga yang satu sama lain memiliki kaitan jiwa sampai harta. Meskipun yang meninggal dan yang masih hidup tidak mencari harta bersama atau yang meninggal tidak dibantu mengusahakan harta selama hidupnya, namun mereka masih tetap mendapat bagian. Hal ini dapat dilihat secara terperinci dalam surat An Nisa ayat 7 s/d 14.

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan".(QS. An Nisa : 7)

"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik".(QS. An Nisa : 8)

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar".(QS. An Nisa : 9)

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara lalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)".(QS. An Nisa : 10)

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".(QS. An Nisa : 11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun".(QS. An Nisa : 12)

"(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar". (QS. An Nisa : 13)

Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." (QS. An Nisa : 14)

Walaupun demikian, seseorang yang telah ditentukan akan menerima warisan dari seorang yang meninggal atau keluarganya, namun karena sesuatu hal hak tersebut dihilangkan atau hak warisnya dibatalkan. Di antara sebab yang mengakibatkan demikian antara lain, perbedaan agama, karena membunuh, karena ia adalah seorang hamba sahaya (budak).

1. Karena perbedaan agama

Seorang yang meninggal dunia dan memiliki saudara yang agamanya bukan islam, maka dalam pembagian harta warisan tidak mendapat bagian. Demikian pula sebaliknya. Apabila ada seorang yang bukan beragama islam meninggal dan meninggalkan harta dan saudara yang beragama islam tidak berhak atas warisan tersebut. Hal ini menurut para ulama ahli fiqih islam sudah menjadi pendapat sebagian besar ulama. Adapun dasar daripada pendapat ini adalah hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi yang artinya : Dari Abdullah bin Umar ra berkata , Rasulullah SAW berkata : "Tidak saling mewarisi  antara dua pemeluk agama yang berbeda" (HR. Ahmad dan Turmuzi)

Dalam hadist ini Nabi menyebutkan secara tegas tentang perbedaan agama dan memang tidak ditegaskan apakah hanya berlaku bagi orang islam saja atau juga agama lain. Artinya tidak dijelaskan, apakah orang-orang muslim yang meninggal lalu saudaranya bukan muslim itu tidak dimasukan sebagai ahli waris, atau orang non muslim yang meninggal dan saudaranya beragama islam tidak juga mendapat waris. Namun hadist diatas menurut sebagian besar ulama tetap mengandung pengertian bahwa orang yang saling berbeda agama tidak saling mewarisi, karena dikuatkan oleh hadist sebagai berikut yang artinya : Dari usamah bin zaid, bahwa Nabi SAW berkata : "orang muslim tidak menerima waris dari orang kafir, dan orang kafir tidak menerima waris orang muslim". (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Karena membunuh

Sebab kedua yang menyebabkan seseorang dibatalkan menerima waris, ialah apabila ia terlibat membunuh yang mewariskan harta. Hal ini tidak terkecuali ahli waris yang terdekat sekalipun seperti anak dan istri. Masalah ini terdapat dalam hadist Nabi sebagai berikut yang artinya : Dari Amr bin Syua'aib dari ayah dan kakeknya berkata Rasulullah : "Tidak ada hak bagi pembunuh dalam hal warisan sedikitpun."(HR. Nasai)

Dan hadist nabi yang artinya "Barang siapa membunuh seseorang, maka ia tidak dapat mempusakainya, walaupun korban tidak mempunyai pewaris selainya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan (HR. Ahmad)

Apabila dipelajari lebih jauh kenapa agama islam membatalkan hak waris seseorang yang membunuh yang akan mewariskan harta tersebut? sebagaimana yang telah dalam fiqih islam, maka perbuatan membunuh sesama kaum muslimin termasuk dosa besar dan hukumnya tergolong berat . Lagipula, kalau agama islam tetap mengakui hak waris orang yang membunuh keluarganya, niscaya orang yang memiliki harta tidak akan merasa aman hidupnya. Sebab ia selalu dibayang-bayangi oleh niat jahat manusia yang bernafsu serakah. Bagi orang yang berniat jahat, agar ia dapat menerima warisan dari keluarganya yang memiliki harta, maka dapat saja dia melakukan pembunuhan. Akhirnya orang merasa tidak aman beragama. Adanya ketentuan, bahwa orang yang membunuh tidak berhak menerima warisan, berarti agama islam melakukan langkah preventif terhadap kemungkinan adanya usaha-usaha seperti yang disebutkan di atas. Sekali lagi kita melihat, betapa tingginya nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran islam.

3. Budak

Pada dasarnya budak dengan pengertian seperti yang terdapat dalam sejarah Arab di dunia Islam sekarang sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian dalam pembahasan warisan ini tetap dikemukakan, bahwa dalam agama islam tidak menerima warisan. Dalam Al Quran disebutkan yang artinya "Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan. Adakah semua mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahuinya (QS. An Nahl : 75)


Budak, sebagaimana yang ada di masa awal islam berkembang pada dasarnya adalah milik penghulunya yang ia sendiri merupakan warisan dari yang meninggal. Jadi dalam masalah waris, budak termasuk yang diwariskan disamping harta lainya. Karena itu wajar kalau budak tidak menerima warisan.

B. Hikmah Mawaris

Ketika agama islam diturunkan dalam masyarakat Arab, Romawi dan Yahudi telah ada hukum waris mewarisi (pusaka mempusakai). Hukum waris tersebut telah berlaku lama dalam masyarakat mereka masing-masing. Agama Islam yang diturunkan pertama kali di Jazirah Arab dihadapkan pada tradisi masyarakat Arab yang memiliki hukum waris dan telah berlaku turun temurun semenjak zaman dahulu kala. Apabila kita ingin melihat, kenapa agama islam ini menurunkan hukum waris, padahal masyarakat pada waktu itu sudah ada dan diketahui oleh masyarakat umum.

Pertanyaan ini penting sekali untuk dijawab dan diketahui. Agama Islam merupakan agama yang sangat lengkap membimbing umat manusia melalui petunjuk illahi. Karena itu, wajar kalau jangkuan syariat islam jauh melebihi pandangan manusia. Sedangkan hukum waris yang ketika itu merupakan hasil ciptaan manusia yang dilakukan secara turun-temurun

Dalam masyarakat Arab sebelum islam dalam membagi harta seseorang yang telah meninggal, ada dua prinsip yang menjadi pedoman : 
Pertama : anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak berhak mendapat harta warisan.

Kedua : seorang isteri dari yang meninggal dianggap sebagai harta waris dan dapat diwariskan kepada ahli waris selanjurnya, meskipun yang menerima warisan itu anak dari yang meninggal.

Dari dua prinsip di atas, tampak bahwa masyarakat Arab sebelum islam datang memandang anak-anak perempuan, serta isteri tidak termasuk anggota keluarga yang berhak menerima warisan. Hubungan darah perkawinan dan keturunan tidak dipandang masyarakat arab ketika itu sebagai sesuatu yang mendekatkan manusia dengan yang lainya. Harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal tidak dilihat sebagai kekayaan yang berkaitan usaha orang lain. Seorang suami tidak mungkin akan mendapatkan memperoleh harta tanpa bantuan isterinya. Walaupaun bantuan tersebut tidak bersifat langsung. Begitu juga anggota keluarga lainya. Bagi masyarakat Arab jahiliyah hubungan yang dipandang bermanfaat ialah hubungan yang bermanfaat secara langsung pada dirinya.  
Ketika agama islam diturunkan kepada Nabi Muhammad, semua tradisi di atas dirubah berdasarkan syariat islam. Dalam satu hadist diceritakan seorang laki-laki bernama Mishham bin Abi Qais al Aslat yang telah meninggal ayahnya. Ketika itu ayahnya mempunyai istri. Mishham mempunyai keinginan hendak mengawini janda bapaknya, lalu ia datang kepada Rasulullah menanyakan hal tersebut. Lalu Nabi menjawab dengan suatu ayat yang datang beberapa saat kemudian yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". (QS. An Nisa 19) 

Maksud ayat di atas adalah melarang kaum muslimin melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan orang Arab Jahiliyah. 

Kedatangan agama Islam membawa syariat khususnya tentang waris dan beberapa hal yang diakibatkannya antara lain menghilangkan hukum waris Arab Jahiliyah, pembentukan keluarga muslim, waris memiliki nilai pendidikan, dan hukum waris islam memberikan keseimbangan antara hak individu dan hak keluarga. Kedatangan agama islam membawa syariat khususnya tentang waris dan beberapa hal yng diakibatkannya antara lain menghilangkan hukum waris Arab Jahiliyah, pembentukan keluarga muslim, waris memiliki nilai pendidikan, dan hukum waris islam memberikan keseimbangam antara hak individu dan hak keluarga. 

1. Menghilangkan Hukum Waris Arab Jahiliyah 

Masyarakat seperti yang disebutkan di atas ternyata tidak memandang manusia tentang kedudukanya dalam keluarga mempunyai hak dan kewajiban. Syariat Islam memandang harta yang ditinggalkan seseorang yang meninggal bukan hanya hasil jerih payahnya sendiri, tetapi juga melibatkan usaha dan bantuan orang lain. Karena agama islam mengajarkan, bahwa seseorang yang hidup di dunia tanpa bantuan orang lain, niscaya ia tidak akan menjadi orang mukmin yang baik. Seorang mukmin yang baik akan tahu batas antara hak nya dengan hak orang lain. Dan saling bantu membantu dalam usaha dan kehidupan. Oleh sebab itu, dalam Al Quran disebutkan yang artinya : "Bagi orang-orang laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan". (QS. An Nisa : 7) 

Dari ayat di atas tampak jelas adilnya agama islam menempatkan seluruh hubungan dalam warisan. Yang menerima warisan tidak hanya isteri, anak, ibu dan keluarga dekat tetapi juga diikut sertakan anggota masyarakat lainya seperti bailatul mal, atau teman yang mendapat wasiat. 

2. Waris Sebagai Salah Satu Sumber Nilai Pembentukan Keluarga Muslim. 

Seorang muslim yang baik apabila berkeluarga ia bertanggung jawab terhadap masa depan keluarganya, seperti isteri, anak dan saudara lainya. Tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya dalam agama islam disebutkan dalam Al Quran yang artinya : "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik, seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya dan warispun berkewajiban demikian". (QS. Al Baqarah : 233). 

Memberi jaminan terhadap masa depan anak berarti segenap usaha yang dilakukan oleh seorang ayah harus mencakup ke segenap aspek kehidupan. Yakni aspek ekonomi, pendidikan dan sosial. Begitu juga dalam bergaul, seorang ayah bertanggung jawab mendidik anaknya agar memiliki pergaulan yang harmonis dengan tetangga dan keluarga lainya. Oleh karena itu, keluarga muslim menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memandang seorang anak dari segi hubungan seagama. Seorang anak tidak akan dewasa dan terkontol sendiri pembinaanya oleh orang tuanya, melainkan perlu mendapat bantuan dari keluarga lain. Dari segi hubungan, wajar apabila agama islam menggariskan, bahwa yang mendapat harta warisan bukan hanya anggota keluarga yang berkaitan dengan perkawinan seperti isteri dan anak, tetapi juga sanak famili lainya yang hanya memiliki hubungan saudara bukan karena perkawinan. 

Nilai sosial yang diberikan oleh hukum waris islam adalah adanya kaitan yang erat antara hubungan waris dengan pembinaan seorang anak dalam keluarga. Nilai inilah yang tidak dimiliki oleh agama lain, baik itu masyarakat Arab maupun masyarakat lainya. Dalam masyarakat Arab, seorang yang meninggal tidak dilihat hubungan sosialnya, tetapi hanya dilihat kegunaan harta yang ditinggalkan dengan pengertian yang sempit. Sehingga isteri dan anak perempuan tidak mendapat tempat dalam warisan, apalagi keluarga jauh yang tidak terikat dengan perkawinan. Hal inilah yang disebutkan dalam Al Quran dalam hadist bahwa kehidupan manusia tidak hanya tergantung kepada amaliah yang menguntungkan secara pribadi, tetapi juga dapat diambilkan dari alamiah yang menguntungkan masyarakat umum. 

3. Waris Memberikan Nilai-Nilai Pendidikan 

Apabila dilihat dari aspek pembagian harta atau orang yang berhak mendapatkan harta waris dalam agama islam, jumlahnya banyak sekali. Mulai dari yang memiliki hubungan paling dekat seperti anak, isteri, ayah dan ibu, sampai dengan hubungan yang relatif jauh, seperti kakek, cucu, anak saudara perempuan dan saudara laki-laki. Ditinjau dari sudut pendidikan, penemuan waris seperti yang demikian itu mempunyai nilai pendidikan bagi masyarakat islam. Yakni nilai kebersamaan dan saling bantu serta menghargai jasa orang lain. 

Menurut pandangan keluarga modern, bahwa pendidikan anak tanggung jawab orang tua semata. Segala sesuatu yang berkaitan dengan masa, depan anak sepenuhnya dilimpahkan kepada orang tuanya. Padahal kehidupan seorang anak tidak hanya di rumah, di sekolah, dalam masyarakat dan lingkungan lainnya. Sedangkan orangtua masyarakat modern, waktunya lebih banyak dihabiskan dalam mengurus kehidupan dan pekerjaan. Sementara waktu untuk pembinaan dan pendidikan anak hampir tidak ada. Akhirnya perkembangan dan pembinaan anak hanya mengandalkan pendidikan di sekolah. Padahal anak tidak tidak hanya terkontrol oleh keluarga, dan mudah terjerumus kedalam kehidupan yang merusak mental dan akhlak. Pandangan orang tua yang menyatakan, bahwa kecukupan di bidang ekonomi dapat menyelesaikan problema keluarga, ternyata tidak terbukti dalam masyarakat. Dalam Islam, keluarga dipandang sebagai kesatuan orang yang mempunyai niat sama dab bekerja sama dalam kehidupan serta saling bantu membantu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, bantu membantu dapat merupakan mengontrol tingkah laku dan perkembangan anak, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sehingga beban orang tua dapat menjadi ringan, karena dalam membina anaknya sudah dibantu oleh keluarga lain. 

Berdasarkan konsep keluarga Islam seperti diatas, maka hukum waris Islam juga menempatkan, bahwa anggota keluarga lainya juga patut diberi hak untuk menerima waris. Nilai inilah yang hendak ditanamkan oleh ajaran islam ke dalam masyarakat. Begitu juga melalui hukum waris ini berhubungan kekeluargaan akan terjalin semakin erat. Sehingga ukhuwah islamiyah tidak terputus apabila ada seseorang yang meninggal. 

4. Hukum Waris Islam Memberi Keseimbangan Antara Hak Individu dan Hak Keluarga

Sebelum agama islam datang, hukum waris yang terkenal dan berkembang dalam masyarakat baik Arab maupun non Arab ada tiga pedoman. Pertama, hukum waris menurut tradisi masyarakat Arab, kedua hukum waris Romawi, ketiga, hukum waris orang Yahudi. Ketiga hukum waris tersebut menempatkan harta sebagai milik pribadi semata-mata. Apabila ada seorang yang meninggal ia memiliki hak-hak penuh sebelum meninggal memwasiatkan harta seluruhnya untuk diwariskan kepada siapa yang ia kehendaki. Anggota keluarga yang di tinggalkan tidak dapat berbuat apa-apa manakala yang meninggal telah memberi amanat (wasiat) kepada siapa harta tersebut diberikan. Di sini terlihat jelas bahwa harta merupakan milik pribadi tanpa ada fungsi sosialnya sedikitpun. 

Anggota keluarga yang diperhitungkan sebagai penerima waris hanya laki-laki dan itupun harus terhitung dewasa. Isteri, paman, dan kakek tidak diperhitungkan mendapat waris. Setelah agama islam datang semua tata cara pewarisan seperti diatas dihilangkan. Agama islam memberi keseimbangan antara hak pribadi yang meninggal dengan hak keluarga lainya. Kedua hak tersebut tidak dapat nembatalkan satu sama lain. Apabila sebelum meninggal ada wasiat, tetapi tidak seperti pada masyarakat Arab dan Yahudi. Jumlah yang dapat diwasiatkan terbatas bukan seluruhnya. Apabila disimpulkan secara umum, maka ada lima hal yang dirubah agama islam dalam waris dibandingkan dalam hukum waris Arab, Yahudi, dan Yahudi : 
  1. Syariat islam mengizinkan kepada seseorang, mewasiatkan hartanya untuk diwariskan kepada orang yang dikehendaki maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sisanya harus diberikan kepada anggota keluarga lainya atau ahli waris lainya. 
  2. Agama islam menetalkan, bahwa bapak, isteri, anak perempua, kakek semuanya tergolong ahli waris. 
  3. Agama islam membenarkan pemberian harta diistimewakan kepada satu macam ahli waris saja, seperti kepada anak saja atau yang lainnya. 
  4. Agama islam tidak menolak anak perempuan dan anak belum dewasa menerima waris. 
  5. Agama islam tidak membenarkan anak angkat dan orang yang memberikan janji setiap kepada yang meninggal mendapat harat warisan.




Terima kasih sudah membaca Pembagian Harta Warisan dalam Islam (Mawaris) ,Silahkan bagikan artikel ini Pembagian Harta Warisan dalam Islam (Mawaris) jika bermanfaat, Barakallaahu fikum
Share on :
 
Comments
0 Comments

Posting Komentar

loading...
 
Support : About | Site Map | Privacy Policy | Disclaimer | Contact Us |
Copyright © 2013. artikelislamiku2.blogspot.com - All Rights Reserved
Di Design Ulang Oleh I Template Blog Published by I Template Blog
Proudly powered by Blogger